Showing posts with label isi. Show all posts
Showing posts with label isi. Show all posts

Tuesday, April 18, 2017

Trik Dapat 9 Per Hari Cara Daftar Yroo Lengkap Dan Trik Isi Saldo ATM Gratis

Trik Dapat 9 Per Hari Cara Daftar Yroo Lengkap Dan Trik Isi Saldo ATM Gratis




REFORMISACEH LHEE SAGOE- Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah merupakan penerus kepemimpinan perempuan di tahta kerajaan Aceh. Ia dinobatkan sebagai ratu menggantikan Ratu Safiatuddin, sultanah pertama kerajaan Aceh.

Ratu Nurul Alam dalam khasanah sejarah Kerajaan Aceh dikenal dengan nama Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah. Memerintah di Kerajaan Aceh dari tahun 1675 – 1678 masehi.

Sejarawan Aceh, Gade Ismail dan Rusdi Sufi dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, mengungkapkan, menurut manuskrip silsilah keturunan sultan-sultan Aceh yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah adalah putri dari Malik Radiat Syaikh Hitam, putra Firman Ali Riayat Syah, putra Said Al Mukammil.

Pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin, jabatan mufti kerajaan dipegang oleh Syaikh Abdur Rauf (Teungku Syiah Kuala) ulama besar Aceh pada masa itu yang telah menduduki jabatan sebagai Mufti sejak masa pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641 – 1675).

Syaikh Abdur Rauf yang kemudian memberikan masukan kepada Ratu Nagiatuddin untuk mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh. Perubahan itu kemudian dibuat dalam bentuk undang-undang dasar Kerajaan Aceh yang dikenal dengan Adat Meukuta Alam.

Tentang itu juga diungkapkan T Ibrahim Alfian dalam bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” Dengan undang-undang Adat Meukuta Alam tersebut Kerajaan Aceh dibagi menjadi tiga federasi yang kemudian dikenal dengan sebutan Aceh Lhei Sagoe (Aceh tiga sagi). Setiap sagi terdiri atas beberapa mukim. Berdasarkan jumlah mukim yang disatukan, ketiga sagi itu dinamakan; Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim. Setiap sagi diangkat seorang pemimpin yang disebut Panglima Sagoe.

Sejarawan Belanda, K. F. H Van Langen dalam “De Inricting Van Het Atjeshe Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” (1888) mengungkapkan, pembentukan sagi oleh Ratu Naqiatuddin merupakan upaya membentuk pemerintahan yang dapat tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegrian-kenegrian yang terletak sebelah barat, timur dan selatan Kerajaan Aceh kepada ketiga orang Panglima Sagoe.

Namun kata Van Langen, penyerahan kekuasan kepada para Panglima Sagoe itu bukan berarti mereka akan menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri. Tapi sebaliknya, mereka tetap di bawah kontrol dan pengawasan kerajaan. Panglima Sagoe lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan raja yang mengefektifkan pengawasan, yakni dengan cara memonitor sejauh mana tingkat kadar pelaksanaan pemerintahan dari pemerintah pusat di kerajaan yang disampaikan oleh pemimpin-pemimpin negeri (Uleebalang) benar-benar dilaksanakan. Van Langen menilai apa yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah merupakan suatu kemajuan besar dalam tata kelola pemerintahan di Kerajaan Aceh.

Hal yang sama juga diungkapkan Thomas Braddel dalam buku “On the History of Acheen” terbitan 1851. Ia menilai beberapa kemajuan yang dilakukan oleh Ratu Naqiatuddin Syah pada masa kepemimpinannya, di antaranya: sehubungan dengan nasihat Syaikh Abdur Rauf, Ratu Naqiatuddin menyempurnakan Adat Meukuta Alam ciptaan Sulthan Iskandar Muda, penyempurnaan dilakukan sesuai dengan kondisi zaman pemerintahannya.

Penyempurnaan itu antara lain berupa tambahan ketentuan mengenai kedudukan Panglima Sagoe yang merupakan bentukan baru, dan kedudukan Uleebalang dalam Adat Meukuta Alam tersebut. Ketentuan itu antara lain sebagaimana dikutip oleh Van Langen sebagai berikut:

“Panglima Sagoe jikalau meninggal wajib atas uleebalang dalam sagoe itu mempersembahkan kepada raja. Jikalau telah mendapat itu kematian Panglima Sagoe maka raja bersabda kepada orang kaya Sri Maharaja Lela atau wakilnya, menyuruh pergi membawa belanja berapa yang cukup buat khanduri dan sedekah pada satu hari dikubur…(Van Langen, 1888 : 443).

Hal lain yang dilakukan Ratu Naqiatuddin Syah adalah penempaan dan mengeluarkan mata uang sendiri yang terbuat dari emas sebagai alat tukar. T Ibrahim Alfian dalam “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” menjelaskan, mutu mata uang yang dikeluarkan Ratu Naqiatuddin terbuat dari emas 17 karat dengan berat 0,59 gram. Bentuk mata uang itu bertulis Arab nama dan gelar ratu, Sri Paduka Sultanah Nurul Alam pada bagian mukanya, dan dibelakangnya tertulis dengan akasara Arab Naqiat ad-Din Syah Berdaulat.

Sebuah petaka terjadi pada masa pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah. Sebagaimana diungkapkan Syaikh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin. Pada masa itu terjadi kebakaran yang memusnahkan Mesjid Raya Baiturrahman dan bahkan istana kerajaan yang penuh dengan perhiasan dan barang-barang berharga terbakar.

Sejarawan Belanda lainnya, P. J. Veth dalam buku “Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland” terbitan Leiden, 1873, juga menulis tentang kebakaran tersebut. Meski pemerintahan Ratu Naqiatuddin Syah sangat singkat, yakni hanya tiga tahun. Banyak perkembangan yang dilakukannya dalam pemerintahan Kerajaan Aceh, dibandingkan dengan masa pemerintahan ratu sebelumnya, Safiatuddin Syah yang mencapai 35 tahun.

Dalam Bustanus Salatin, Ar Raniry mengungkapkan bahwa Ratu Naqiatuddin Syah mangkat pada hari minggu waktu dhuha 29 Zulkaidah. Ia menulis: “Kemudian dari itu, selang berapa lamanya, maka baginda pun mangkat pada hari Ahad, waktu dhuha, dua puluh sembilan Dzulkaidah.”

Menurut Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Malaische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” tanggal mengaktanya Ratu Naqiatuddin Syah yang disebut Ar Raniry itu, setelah dihitung dengan penanggalan masehi, maka Ratu Naqiatuddin wafat pada hari Minggu 23 Januari 1678.

Konseptor Aceh Lhee Sagoe

Available link for download

Read more »

Sunday, March 12, 2017

Inilah Cara Cepat Isi Saldo ATM Secara Gratis Dan Aman

Inilah Cara Cepat Isi Saldo ATM Secara Gratis Dan Aman


SEJARAH RAPAI GELENG aceh
Sejarah Rapai Geleng - Rapai adalah salah satu alat tabuh seni dari Aceh. Rapai (rebana) terbagi kepada beberapa jenis permainan, rapai geleng salah satunya. Rapai Geleng dikembangkan oleh seorang anonim Aceh Selatan. Permainan Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat.
Terian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari unsur tarian meuseukat.

Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Saat itu Tarian Rapai Geleng di bawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.
Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
 Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
1.      Saleum (Salam)
2.      Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
3.      Lani (penutup)

Nama Rapai diadopsi dari nama Syeik Ripai yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini.
Syair yang dibawakan tergantung pada Syahi. Hingga sekarang syair-syair itu banyak yang dibuat baru namun tetap pada fungsinya yaitu berdakwah.
Contoh :
Rapai-i Geleng; Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh
Alhamdulilah Pujo Keu Tuhan

Nyang Peujeut Alam Langet Ngon Donya

Teuma Seulaweut Ateuh Janjongan

Panghulee Alam Rasul Ambiya

(Segala Puji kepada Tuhan

yang telah menciptakan langit dan dunia

selawat dan salam pada junjungan

penghulu alam Rasul Ambiya)

Nanggroe Aceh nyo Tempat loun lahee

Bak Ujoung Pantee Pulo Sumatra

Dilee Baroo Kon Lam jaro Kaphe

Jino Hana lee Aman sentosa…

(Daerah Aceh ini Tempat lahir ku

di ujung pantai pulau sumatera

Dulu berada di tangan penjajah

Kini telah aman dan sentosa)

Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah, serempak menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh. Gerakannya diikuti tabuhan rapai yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat di iringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat.
Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka.

Pada gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang, penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian;
Meu nyo ka hana raseuki,

yang bak bibi roh u lua

Bek susah sare bek sedeh hatee,

tapie kee laen ta mita

(Kalau sudah tak ada rezeki,

yang sudah di bibirpun jatuh ke luar

jangan lah susah, jangalah bersedih hati,

Available link for download

Read more »